Jumat, 12 Juni 2015

7 Alasan Ujian Nasional Harus Dihapuskan

Filled under:





Berdasarkan Permendiknas No.22 Tahun 2006, KTSP merupakan kurikulum yang bersifat tak terpusat, dikatakan tak terpusat karena disusun oleh setiap satuan pendidikan masing- masing yang sesuai dengan ciri khusus sekolah dan kebutuhan berbagai daerah, misal industri, daerah dataran rendah dan tinggi, daerah pesisir.
Keunggulan KTSP diantaranya:
1. Setiap satuan pendidikan memiliki kewenangan menjabarkan kurikulum nasional sesuai dengan kebutuhan
2. Bahan, media, dan metode pembelajaran di sekolah tidak sama tetapi disesuaikan dengan keunikan atau ciri khasnya
3. Output pendidikan sekolah dapat sesuai dengan kebutuhan stake holder, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat
Kita sudah ketahui bahwa kurikulum yang digunakan sekarang adalah KTSP dimana kurikulum yang kita gunakan tidak terpusat pada pemerintah tetapi terpusat pada satuan pendidikan masing- masing, otomatis kemampuan siswa berbeda- beda disetiap satuan pendidikannya masing- masing. Namun kenapa pemerintah masih bercampur tangan apalagi mengadakan evaluasi penentu kelulusan padahal kurikulum yang membuat sekolah oleh guru yang sudah paham tentang karakteristik masing- masing siswanya, kenapa tiba- tiba yang mengadakan evaluasi pemerintah pusat yang tidak tahu bagaimana karakteristik siswa sendiri. Berbagai dampak negatif dengan adanya UN diantaranya:
1. Guru hanya sia- sia mengajar karena yang memberi keputusan lulus adalah pemerintah.
2. Terjadi ketidakadilan dalam dunia pendidikan Indonesia karena tiap sekolah memiliki standar mutu yang berbeda- beda sehingga evaluasi yang diberikan seharusnya menyesuaikan.
3. UN bukan menjadi saran untuk mengontrol mutu pendidikan. Mutu pendidikan tidak bisa hanya berdasar pada jumlah siswa yang mendapat nilai UN 100 dan lulus, ada juga sebagian siswa yang sebenarnya pandai justru tidak lulus begitu juga sebaliknya.
4. UN bukan membentuk watak kerja keras, namun malah membentuk watak- watak pembohong dan licik karena UN sifatnya “memaksa” harus lulus maka tak jaraang yang berbuat curang.
5. Hanya menilai siswa dari nilai- nilai kognitif yang tertulis dengan angka di hasil lembar jawaban, sementara nilai dari sikap dan perilaku untuk membentuk siswa yang berbudi pekerti serta berkarakter bangsa justru dikesampingkan.
6. UN dijadikan syarat kelulusan siswa, pada saat itulah fungsi UN telah menyimpang. Meski persen dari nilai kelulusan 50% dari nilai UN dan 50% dari nilai Ujian Sekolah namun nilai UN tetap menentukan hasil akhir.
7. UN yang digembar gemborkan bukan meningkatkan semangat belajar malah membuat siswa merasa diteror yang menyebabkan penurunan semangat belajar karena diberbagai media dan pemberitaan nampak sekali UN sebagai momok pelajar sehingga banyak tempat les yang penuh di waktu mendekati UN tiba.
Jadi, sejauh ini UN hanya sebagai sertifikasi siswa yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan belum akurat untuk mengukur seberapa tingkat kecerdasan siswa. Oleh karena itu masih harus ada perbaikan lagi dalam evaluasi pendidikan yang tepat supaya benar- benar menghasilkan output yang berkualitas.
Ulasan saya tentang UN ini masih berdasar KTSP karena kurikulum 2013 memang belum diaplikasikan di seluruh sekolah di Indonesia dan masih banyak yang menggunakan KTSP, serta kurikulum 2013 dengna KTSP juga tidak jauh berbeda secara teknis.
Oleh : Nurul Liza
Staf Ahli Bidang Pendidikan dan Sosial Budaya Kastrat KAMMI Kathoza 2013
UN dan pendidikan setingkat SD, SMP dan SMA/SMK , sampai saat ini masih seperti dua sisi mata uang, yaitu dua mata sisi yang tidak dapat dipisahkan. Setiap pendidikan dijenjang tersebut akan menemui UN, dan UN merupakan salah satu faktor terbesar yang kelak akan menentukan lulus atau tidaknya siswa dalam jenjang pendidikan tersebut, tak peduli dia itu pintar atau tidak.
UN dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat memahami materi yang telah mereka dapatkan, dalam arti lain UN digunakan untuk mengetahui kualitas pendidikan seorang siswa. Selain itu UN juga diadakan untuk dijadikan tolak ukur lulus atau tidaknya siswa.
Pelaksanaan UN tahun ini menui banyak kritik, dikarenakan banyak permasalahan yang terjadi, dimulai dari pendistribusian soal yang buruk, jenis kertas yang rentan rusak hingga permasalahan anggaran dan tender.  Berbagai permasalahan ini pun akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai UN. Ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa UN lebih banyak membawa dampak  negatif daripada dampak positifnya, sehingga harus dihapuskan.
Gugatan-gugatan untuk menghapus UN terus berdatangan dari berbagai pihak, dan dalil-dalil yang dapat mendukung pun terus dikeluarkan. Beberapa penelitian mendokumentasikan dampak negatif dari UN, diantaranya adalah:

1.  Kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga
2. Meningkatkan risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas
3. Penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan, sehingga yang diujikan terabaikan
4. Proses belajar yang berupaya menggali aspek kretivitaf dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada pelatiahan soal
5. Tekanan berlebihan yang dirasakan siswa, tekanan berlebihan yang dirasakan guru
6. Terjadinya kecurangan.

Selain itu semua, sebuah penelitian dari  sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, Center on Education Policy , yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah Negara bagaian Amerika Serikat sejak tahun 2002 menyimpulkan bahwa sampai sekarang belum ditemukan keterkaitan anatara UN dan peningkatan prestasi siswa. Tak hanya Center on Education Policy saja yang belum menemukan, namun juga Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2012).
            Mendengar tuntutan-tuntutan dari berbagai pihak mengenai penghapusan UN, Muh Nuh pun berpendapat bahwa, sebelum masalah ini ada pun, keraguan terhadap UN sudah santer disuarakan, namun yang terpenting adalah kementerian sudah melaksanakan sesuai dasar akademis.
            Berbeda dengan pendapat sebelumnya yang mengharapkan UN untuk dihapuskan, wakil menteri agama Nasarudin Umar berpendapat bahwa “Jika UN ditiadakan, justru Indonesia akan dihadapkan kepada sejumlah kesulitan, antara lain, tak bisa memetakan tingkat kemampuan siswa terhadap hasil penyelenggaraan pendidikan selama ini," Selain itu beliau berpendapat bahwa dengan penghapusan UN maka akan terjadi disintegrasi di Indonesia, yaitu suatu kondisi dimana persatuan menjadi terpecah belah, Dalam arti, jika pemerintah menghapuskan UN maka kemungkinan aka nada pihak-pihak yang berpendapat bahwa pemerintah pusat hanya memperhatikan satu wilayah saja, sehingga terjadi ketimpangan sosial. Sehingga ia mengatakan bahwa penghapusan ujian bukanlah cara yang tepat, namun perbaikilah semua system, karena itu lah yang lebih dibutuhkan.
            Pro dan kontra itu sudah hal yang biasa, namun jika dilihat lagi mengenai permasalahan UN di Indonesia Dan sebenarnya dari dulu UN pun sudah banyak terjadi kekacauan, karena pelaksanaan UN sudah dihiasi dengan kecurang, baik dari pihak sekolah (guru), siswa bahkan pengawas. Tak hanya itu saja, soal ujian yang tertuliskan rahasia Negara dan sudah disegel pun masih perlu ditanyakan kerahasiaannya, karena entah bagaimana bisa terjadi jual beli kunci jawaban yang soalnya saja masih dalam amplop dengan tulisan rahasia Negara dan disegel?
Memang UN adalah cara yang dapat digunakan dalam mengukur kualitas siswa, namun apa itu semua benar? Bahwa siswa dapat diukur dari beberapa soal ujian yang belum tentu dijawab secara jujur. Padahal sebenarnya sudah jelas dalam pasal 58 ayat 1 UU Nomor 20 tahun 2003 bahwa “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Sebuah pernyataan yang jelas-jelas mengharapkan pendidiklah (guru) yang seharusnya memantau proses belajar siswa, dalam arti menjadi pemantau kualitas siswa.

Dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan. Kementerian yang dipimpin Mohammad Nuh itu dinilai gagal menyelenggarakan ujian nasional secara serentak. Masalah utamanya, pencetakan dan distribusi soal ujian tidak tuntas sampai batas waktu pelaksanaan ujian.

Kasus seperti ini tidak sepatutnya terjadi. Pasalnya, anggaran dan waktu pelaksanaan telah ditetapkan jauh hari sebelumnya. Lagi pula, UN adalah rutinitas tahunan yang menjadi program andalan pemerintah dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar (KBM).

Ini bukan kali pertama kemendikbud menjadi sorotan publik. Sejak beberapa tahun terakhir, banyak pihak yang telah menyampaikan kritik dan penolakan terhadap UN. Namun, kemendikbud tetap bersikukuh untuk mempermanenkan penyelenggaraan UN.

Sarat Masalah
Setiap kali dilaksanakan, UN tidak pernah sepi dari masalah. Pada tahun 2012 lalu, publik dikejutkan dengan adanya pemberitaan tentang kebocoran kunci jawaban UN di Jombang, Jawa Timur. Menyikapi hal itu, mendikbud kala itu hanya menyatakan akan segera menurunkan tim verifikasi ke lapangan. Sementara hasil dari verifikasi itu tidak pernah disampaikan ke publik.

Kasus yang paling banyak disoroti terjadi pada tahun 2011 lalu. Ketika itu, seorang Ibu bernama Siami (32)  membongkar kecurangan saat ujian nasional di sekolah anaknya, Alif (13), di SDN 2 Gadel, Surabaya. Atas upayanya itu, Siami dan Alif sempat diusir dari tempat tinggalnya. Kasus pengusiran itu merupakan bukti dimana masyarakat terpaksa 'menikmati' ketidakjujuran akibat kebijakan UN yang semakin ketat.

Selain kedua kasus di atas, masih banyak praktik penyimpangan dalam pelaksanaan UN yang diduga dilakukan secara sistematis oleh pihak sekolah dan oknum pejabat kemendikbud di daerah. Tidak salah bila banyak kalangan yang berkesimpulan bahwa UN justru menimbulkan ketidakjujuran di kalangan lembaga-lembaga pendidikan dan juga para peserta didik.

Sejauh ini, UN telah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa dan juga para guru. Siswa takut UN karena khawatir tidak lulus. Sementara, guru takut dengan UN karena bila siswanya banyak yang tidak lulus otomatis akan menjatuhkan reputasi sekolahnya. Akhirnya, siswa dan guru menghalalkan segala cara agar bisa mendapat hasil maksimal pada UN. Akibatnya, para siswa dilegalkan dan bahkan dianjurkan menyontek.

Kasus Keterlambatan
Keterlambatan pencetakan dan pendistribusian soal UN pada 2013 bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang mengiringinya. Mulai dari persoalan teknis pembuatan soal dan lelang sampai pada masalah kebijakan baru kemendikbud.

Untuk UN kali ini, konon kemendikbud menyiapkan 30 versi soal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktik nyontek di antara sesama peserta ujian. Niat ini sepintas memang sangat bagus. Namun, kebijakan itu berdampak pada hal teknis lain.

Dengan 30 versi soal, pihak pembuat soal dipastikan akan mengalami kesulitan. Pasalnya, walau berbeda, tingkat kesulitan antara satu soal dengan soal lain harus setara. Untuk penyetaraan soal itu tentu dibutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, dibutuhkan banyak tenaga ahli untuk menyelesaikannya.

Kesulitan lain akan terjadi pada saat proses pencetakan. Mencentak 30 versi soal bukanlah hal mudah. Selain menyiapkan lebih banyak master film pencetakan, pihak percetakan juga harus melakukan lebih banyak pekerjaan untuk mengklasifikasi semua lembaran-lembaran soal agar tidak campur aduk antara satu set versi soal dengan versi soal lain. Tugas lain yang tidak kalah penting adalah proses pendistribusian soal ke daerah-daerah. Luasnya jangkauan wilayah Indonesia menyebabkan pendistribusian soal UN memakan waktu lebih lama.

Kebijakan diversifikasi soal itu ternyata tidak mudah diimplementasikan. Kerumitan-kerumitan baru yang tidak diduga sebelumnya muncul. Niat agar para peserta UN tidak saling menyontek malah menyebabkan sebagian peserta terpaksa tidak bisa ikut ujian tepat waktu.

Ironisnya, kebocoran soal dan praktik kecurangan pada UN kali ini belum bisa diatasi. Beberapa orang teman yang berprofesi sebagai guru membenarkan hal itu. Walau belum terpublikasi, bukan berarti praktik kecurangan itu nihil. Hampir semua guru mengetahuinya. Mereka hanya TST (tahu sama tahu) tanpa berusaha mencegahnya.

Hapus UN
Di era kontemporer seperti saat ini, banyak metode evaluasi KBM lain yang bisa diterapkan. Untuk menguji kemampuan para siswa, tidak bisa disamaratakan secara nasional. Adalah fakta bahwa sarana prasarana pendidikan di daerah terpencil tertinggal jauh dari yang dimiliki oleh mereka yang belajar di perkotaan.

Selain itu, boleh jadi seorang anak lemah dalam matematika, bahasa Indonesia, dan IPA, tetapi bisa saja dia sangat menguasai kesenian. Lalu mengapa pemerintah harus memaksa dia untuk lulus matematika dan mengabaikan bakat alamiah yang dipunyainya? Berapa banyak orang yang bisa survive dan mendatangkan kebaikan dengan hanya menguasai kesenian?

Selain itu, evaluasi pendidikan semestinya dilakukan secara komprehensif. Seseorang tidak bisa dikatakan cerdas jika hanya memiliki kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual dan emosionalnya juga penting dinilai. Dalam konteks ini, evaluasi pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Melalui UN, hal itu tidak mungkin dilakukan.

Karena itu, sangatlah beralasan bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN. Sebagai gantinya, evaluasi pendidikan bisa dikembalikan ke sekolah (school based evaluation). Para guru yang mendidik mereka setiap hari pasti mengetahui siapa di antara siswanya yang pintar, nakal, berbakat, dan lain sebagainya. Agar evaluasi berjalan seperti yang diinginkan, kemendikbud bisa saja memaksimalkan fungsi para pengawas sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah juga tidak sembarangan melakukan evaluasi dan meluluskan para siswanya.








Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN) tela menjadi polemik yang tak terselesaikan di Indonesia. setiap tahun ada saja masala yang mencuat terkait penyelenggaraan UN. Beberapa diantaranya seperti Makelar Jawaban, Jual beli soal, pencurian soal, unjukrasa, kasus-kasus bunuhdiri, frustasi, dan dampak psikologis terkait siswa/siswi yang tidak lulus dan lain-lain.

penyelenggaraan UN menjadi momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas tiga SMP maupun SMA. Beban yang dipikul pelajar jenjang pendidikan pada kelas tiga ini sangat berat. untuk mencapainya, mereka harus belajar dengan sangat keras. Ada yang menambah jam belajar, mengikuti les tambahan, bahkan kursus private. Ini bagi mereka yang mampu membayar. Bagaimana dengan yang tidak mampu? kesibukan menyiapkan diri menghadapi UN ini menyebabkan siswa/siswi kehilangan waktu untuk istirahat dan bersosialisasi dengan keluarga maupun lingkungan sekitarnya sehingga siswa/siswi terkesan menjalani hidup yang tidah alamia/wajar dan penuh tekanan. Ini tidak baik bagi perkembangan emosional siswa/siswi yang bersangkutan.
Output dari UN sendiri dinilai tidak mampu mewakili kualitas akademik/non akademik seorang siswa/siswi. Banyak kasus siswa/siswi berprestasi yang tidak lulus UN. sebaliknya, banyak juga siswa yang tidak pandai secara akademik mendapatkan nilai yang baik saat UN. Apa pertanyaan yang paling tepat untuk mewakili kenyataan ini?
Selama ini belum ada formula yang efektif untuk menggantikan UN. Pemerintah dituntut untuk menaikkan standar pendidikan. Cara pemerintah yang dapat dilihat orang awam adalah dengan selalu menaikkan angka standar lulus. Jika standar ini diterapkan terus, bagaimana dengan sekolah di desa terpencil yang gurunya cuma tiga orang untuk melayani tiga kelas?bagaimana dengan sekolah yang yang tidak memiliki sarana prasarana seperti laboraturiun dan perpustakaan? apakah mereka akan mampu menjawab soal yang sama dengan anak-anak di ibukota yang jelas sekali perbedaannya? tidak adanya pemerataan ini menyebabkan penerapan UN tidak dapat meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dengan memulai dari tulisan ini saya mencoba menawarkan satu solusi baru (atau mungkin sudah lama tetapi tidak diperhatikan) kepada para pembaca. Solusi ini saya beri nama “Nilai Akhir Kumulatif”. Inti dari metode ini adalah dengan mengumpulkan Nilai laporan pendidikan selama tiga tahun untuk dijadikan Nilai Akhir kumulatif. Rekapitulasi nilai siswa/siswi yang dihitung secara kumulatif lebih mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama tiga tahun dibandingkan nilai UN yang hanya tiga hari. dengan menerapkan metode ini, peran guru yang beberapa waktu ini hilang karena kekakuan dari UN akan kembali seperti sediakala. Perlu diketahui, guru lebih mengenal siswa/siswinya dibandingkan dengan mesin pengolah data UN.
Pemerintah dapat mengatur berapa Standar “Nilai Akhir Kumulatif” yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan. Siswa/siswi tidak akan merasa kecewa jika kerja kerasnya selama tiga tahun dinilai dengan prestasi belajar yang diperoleh selama tiga taun pula. Demikian juga dengan guru, meraka akan rela dan senang melepaskan siswa/siswinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan penilaian akhir seperti ini, karena sangat mewakili apa yang mereka peroleh selama tiga tahun.
Beberapa hal yang saya keunggulan dan rekomendasi dari solusi yang saya tawarkan ini:

1.      Pemerintah mengkaji ulang tulisan ini untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif

2.      Masalah makelar soal, jual beli soal, penipuan dan pencurian terkait UN, dan lain-lain akan dapat dihapuskan.

3.      Peran guru akan kembali seperti sediakala, dan peran guru sangat sentral dalam memajukan standar pendidikan.

4.      Nilai Akhir kumulatif dapat mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama yang bersangkutan menempuh jenjang pendidikan. Demikian juga, metode ini mewakili kinerja guru selama mereka mengajar.

5.      Dampak psikologis bagi siswa/siswi, guru, maupun orang tua akan berkurang. Siswa/siswi tidak tertekan dan memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya.

Solusi yang saya tawarkan ini perlu dikaji dan dikoreksi lagi untuk mendapatkan metode yang yang lebih rinci dan teliti. Ide ini sendiri muncul ketika saya berdiskusi dengan Rockhiey (Teman satu Prodi dan satu organisasi dengan saya) tentang masalah UN di Indonesia. kita berdua begitu prihatin dengan masalah UN. dan lahirlah Ide ini. semoga bermanfaat.



Adakah Solusi Pengganti UN?
UN tetap dipertahankan, karena pemerintah masih mencari solusi pengganti UN yang tepat, karena di negara-negara maju seperti Amerika, kanada bahkan finladia yang memiliki sistem pendidikan terbaik didunia pun tak melaksanakan ujian seperti ini. Memang tidak mudah untuk begitu saja menghilangkan UN. Semuanya membutuhkan proses, namun proses itu tergantung dari pengelolanya sendiri apakah akan semangat memperbaiki demi kemajuan pendidikan Indonesia atau terus mempertahankan sistem yang dianggap baik ini. Fenomena diatas harus kita jadikan refleksi terhadap kebijakan UN yang terus menerus kita lakukan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia tidak hanya melalui UN.
Peningkatan mutu pendidikan memang harus menjadi program utama untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Untuk itu kita butuh solusi cerdas tanpa menghilangkan standar pendidikan nasional yang dicita-citakan pendiri republik indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan yang diamanahkan di pembukaan UUD 1945.
Pertama, kita perlu menelisik lebih dalam akar permasalahan pendidikan indonesia, yaitu SDM. Di luar negeri, apalagi negara maju seperti Kanada misalnya, tidak ada ujian nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Dikatakan dari hasil kunjungan kerja Komisi X DPR RI terkait RUU Pendidikan ke Belanda dan Kanada, mengungkapkan, Kanada pernah mengalami keruwetan sistem pendidikan seperti di Indonesia. “Mereka menyarankan kepada kita untuk konsentrasi pada penataan SDM. Cari yang terbaik kalau bisa datangkan dari negara lain”.
Selain itu belajar dari Negara maju lainnya, Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru-guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda. Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru. Jadi jelas, kunci utama awal perbaikan pendidikan indonesia adalah perbaikan dan peningkatan mutu SDM.
Kedua, kami sepakat bahwa tiap warga negara indonesia mempunyai standar pengetahuan yang sama dan teruji. Memang inilah cita-cita yang ingin dicapai, tetapi tidak setuju dengan tindakan memaksakan kehendak hasil UN sebagai penentu kelulusan. Karena sarana dan prasarananya pun berbeda pendidikan dikota dan didesa terpencil. Indonesia yang masih diganggu oleh korupsi, pendidikan juga belum merata ingin membuat standar pengetahuan bagi para peserta didik seluruh indonesia? Jika memang mau mengarah kesana kami tawarkan hal ini dilakukan secara bertahap. Kita harus realistis, indonesia yang terpisah dengan pulau-pulau memang terlalu besar untuk mengadakan sesuatu kegiatan bertaraf nasional seperti di negara-negara lain. Kita harus berani memilih daerah yang mempunyai kesamaan pada banyak bidang terlebih dahulu. Maka kami usulkan tahap awal untuk ujian akhir tingkat provinsi
Misalnya, Ujian Akhir tahun 2014 nanti berturut-turut hingga 3 tahun kedepan dilakukan “Ujian Akhir Provinsi” bersama, dengan standar soal provinsi, kemudian program ini dievaluasi berhasil atau tidaknya meningkatkan taraf pengetahuan peserta didik. Jika berhasil, dengan terus memperbaiki sistem tentunya, dilakukan peningkatan ke “Ujian Akhir Tingkat Kepulauan” hingga 3 tahun kedepan. Baru setelah dievaluasi dari hasil ujian kepulauan ini berhasil baik, maka diadakan “Ujian Nasional” bersama. Kita tidak perlu tergesa-gesa membuat standar pengetahuan bagi para siswa. Kalaupun dianggap hal ini terlalu lama, cukuplah UN ini hanya sebatas untuk pemetaan saja, tidak sebgai penentu kelulusan. Namun sampai tahun ini porsi kelulusan nilai UN masih lebih besar yaitu 60 :40, maka ini yang harus kita kritisi bersama.
Ketiga, laksanakan dengan sungguh-sungguh semangat pendidikan yang tercantum dalam  UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 bahwa,
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dengan itu, menentukan kelulusan siswa tidak bisa dengan UN saja. karena UN dinilai hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Oleh karena itu, seharusnya kelulusan siswa dikembalikan kepada guru dan sekolah sebagai pihak yang paling tahu proses perkembangan siswa itu sendiri. Nilai UN bisa digunakan sebagai salah satu faktor penilaian keberhasilan sekolah dalam proses belajar mengajar. Karena pendidikan harus berorientasi kepada proses bukan hasil. Jika segala sesuatu yang kita lakukan hanya bertujuan untuk mencapai hasil maka segala cara akan dilakukan untuk meraih hasil yang diinginkan.
Keempat, keberhasilan pendidikan diukur dengan moralitas atau akhlak para lulusannya (dengan penilaian portofolio), di samping tidak mengabaikan intelektual dan kecakapan hidup. Dengan kata lain, moralitas menjadi fondasi dasar dalam membengun manusia yang tangguh. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam berkomunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan. Seandanya moralitas dan karakter siswa gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan sosial, serta  dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis. Dan Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini.
Sekali lagi kami menekankan bahwa kami sepakat Indonesia membutuhkan alat ukur kinerja pendidikan. Kalau tidak ada alat ukur, darimana kita akan tahu kinerja dan standar pengetahuan siswa-siswi kita. Tetapi UN bukanlah metode yang tepat untuk menjadi alat ukur berhasil atau tidaknya kita mendidik siswa. hambatan dan rintangan akan dihadapinya jika suatu waktu timbul aturan yang tidak disengaja “membodohi” bangsa. Karena kebodohan itu sangat berlawanan dengan kecerdasan. Untuk itu dibutuhkan waktu yang lama dan sistem yang dijalankan secara konsisten dari tiap orang yang mengaku pemimpin bangsa harus komitmen dalam mencerdaskan bangsa.

“ditulis beberapa jam menjelang audisi debat mahasiswa”




2 komentar:

  1. Akhirnya UN dihapuskan juga loh. Agak mengecewakan sih penghapusan UN nya. Terutama buat siswa-siswi kelas 3 SMA yang uda belajar serius buat lulus UN.

    Aku sendiri uda belajar serius sampai cobain https://primaindisoft.com buat belajar juga. Tapi ya sudahlah, sekarang pakai primaindisoft nya buat belajar persiapan SNMPTN aja

    BalasHapus
  2. Wah kalo UN dihapus sebagai gantinya apa min?

    BalasHapus