Seorang lelaki
tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja
datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia
duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di
antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus
dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si
petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
“Maaf pak, tapi
syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak
mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si
petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.
Lelaki tua itu
tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun
ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang
diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.
Kakek tua yang
sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang
pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia
telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian
teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada,
mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu
tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan
masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia
harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu
sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka
digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit
keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan
pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin
berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah
menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan
derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin
map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.
Ternyata dari
tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa
semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam,
sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung
sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua
itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir
kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman
seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa
menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu
kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh
seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang
menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang
berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu
menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang
pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di
negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan
sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir
merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang
tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat
yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati
kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas
liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari?
Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong
kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang.
Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda,
lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di
rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju
kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang
setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak
membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat
keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di
depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam
keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka,
padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa
mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter.
Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi
memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana
istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata
berkaca-kaca.
“Maaf pak, kami
sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak
sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan
rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
0 komentar:
Posting Komentar